“Cara Islam Dalam Menumbuhkan Kasih Sayang & Cinta”
Sudah diketahui
secara umum, bahwa kaum muslim itu bersadara, yang berarti seorang muslim
dengan orang muslim lainnya itu memiliki ikatan persaudaraan. Persaudaraan yang
baik adalah persaudaraan yang kasih sayang dan cinta ada di dalamnya. Bukan
malah sebaliknya.. kebencian dan saling menghancurkan. Semoga Cara Islam dalam
menumbuhkan kasih sayang dan Cinta ini memberi inspirasi bagi semua untuk menumbuhkan
persaudaraan yang diliputi kasih dan sayang.
Saling Memberikan
Hadiah, Menyuburkan Cinta
« تَهَادَوْا
تَحَابُّوا »
Saling memberi
hadiahlah kalian, niscaya kalian saling mencintai (HR al-Bukhari, al-Baihaqi,
Abu Ya’la)
Imam Bukhari
mengeluarkan hadis di atas dalam Adab al-Mufrad, bab qabûl al-hadiyah, hadis
no. 612. Imam al-Bukhari meriwayatkan hadis ini berturut-turut dari Amru bin
Khalid, dari Dhimam bin Ismail, dari Musa bin Wardan, dari Abu Hurairah, dari
Nabi saw.
Abu Ya’la
mengeluarkan hadis di atas dalam Musnad-nya, yakni hadis no. 6013,
berturut-turut dari Suwaid bin Said, dari Dhimam bin Ismail, dari Musa bin
Wardan, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw.
Adapun al-Baihaqi
mengeluarkannya dalam Sunan al-Kubrâ, Syu’ab al-Îmân dan al-Adâb li al-Baihaqi.
Hadis ini juga
keluarkan oleh Abu Bisyr Muhammad bin Ahmad ad-Daulabi dalam Al-Kunâ wa
al-Asmâ’, Tamam bin Muhammad dalam Al-Fawâ’id Tamam, Ibn al-Muqri’ dalam Al-Mu’jam
li Ibn al-Muqri’ dan an-Nasai dalam al-Kunâ.
Ibn Hajar
al-‘Ashqalani dalam Talkhîsh al-Habîr berkomentar, “Hadis ini diriwayatkan oleh
al-Bukhari dalam al-Adabal-Mufrad dan al-Baihaqi. Ibn Thahir menyatakannya
dalam Musnad asy-Syihâb dari jalur Muhammad bin Bukair, Dhimam bin Ismail, Musa
bin Wardan dan Abu Hurairah; sanad-nya hasan…”[1]
Az-Zaila’i al-Hanafi
mengomentari hadis tersebut, “Hadis ini diriwayatkan oleh Dhimam bin Ismail dan
diperselisihkan. Lalu ia meriwayatkannya dari Musa bin Wardan, dari Abu
Hurairah, dan dengan sanad ini Muslim mengeluarkan hadis Abu an-Nadzir. Dhimam
juga meriwayatkannya dari Abu Qubail, dari Abdullah bin Amru. Jadi dimungkinkan
bahwa Dhimam memiliki dua jalur: dari Abu Qubail dan dari Musa bin Wardan.”[2]
Jalur Dhimam bin
Ismail dari Abu Qubail itu diriwayatkan oleh al-Hakim di dalam Ma’rifah ‘Ulûm
al-Hadîts dari Abu Zakariya al-‘Anbari, dari Abu Abdillah al-Busyanji, dari
Yahya bin Bukair dari Dhimam bin Ismail, dari Abu Qubail al-Ma’afiri, dari
Abdullah bin Amru.
Al-‘Iraqi dalam
Takhrîj Ahâdîts al-Ihyâ’ mengomentari hadis di atas, “Hadis ini dikeluarkan
oleh al-Bukhari dalam Al-Adab al-Mufrad, dan al-Baihaqi dari hadis Abu Hurairah
dengan sanad jayyid (bagus)”.[3]
Ibn ‘Adi
meriwayatkannya dalam Al-Kâmil dan ia menilai ada ‘illat (cacat) pada diri
Dhimam. Ibn ‘Adi berkomentar, “Sesunguhnya hadis-hadisnya tidak diriwayatkan
oleh perawi yang lain.”
Namun, pada bagian
awal biografi Dhimam ini, Ibn Adi menukil riwayat dari Abdullah bin Ahmad bin
Hanbal, bahwa ayahnya (yakni Ahmad bin Hanbal) berkata kepadanya, “Tulislah
dari Suwaid hadis-hadis Dhimam.”[4]
Tentang Dhimam bin
Ismail ini, al-Mazi dalam Tahdzîb al-Kamâl antaranya mengatakan, “Abdullah bin Ahmad
bin Hanbal mengatakan dari ayahnya bahwa ia (Dhimam) shâlih al-hadîts. Abu
Bakar bin Abi Khaitsamah mengatakan dari Yahya bin Ma’in, “Lâ ba’sa bihi (Tidak
ada masalah dengannya).”
Abu Hatim berkata,
“Ia shadûq (jujur) dan ahli ibadah.”
An-Nasai berkata,
“Laysa bihi ba’sun (Tidak ada masalah dengannya). Ibn Hibban menyebutkannya di
dalam kitab Ats-Tsiqât…”[5]
Dengan demikian,
hadis Dhimam layak dijadikan hujjah, termasuk hadis di atas.
Imam Malik di dalam
Al-Muwatha’ mengeluarkan hadis dari Atha’ ibn Abdillah al-Khurasani bahwa Rasul
saw. juga pernah bersabda:
تَصَافَحُوا يَذْهَبْ
الْغِلُّ، وَتَهَادَوْا تَحَابُّوا، وَتَذْهَبْ الشَّحْنَاءُ
Saling berjabat
tanganlah kalian, niscaya akan hilang rasa dengki; dan saling memberi hadiahlah
kalian, niscaya kalian kalian akan saling mencintai dan akan lenyap rasa
permusuhan (HR Malik).
Hadis Malik ini
statusnya adalah hadis mursal, karena Atha’ ibn Abdillah al-Khurasani adalah
seorang tâbi’în. Jadi, ada perawi dari thabaqât Sahabat yang tidak disebutkan.
Namun demikian, tidak disebutkannya perawi Sahabat itu tidak berpengaruh karena
para Sahabat semuanya—seperti yang dinyatakan oleh para ulama hadis—adalah
adil. Dengan demikian hadis di atas dan hadis mursal ini boleh dijadikan
hujjah.
Makna Hadis
Hadis ini menyatakan
bahwa saling memberi hadiah merupakan sarana untuk menumbuhkan rasa saling
mencintai di antara kaum Muslim. Al-Hafizh Ibn Hajar berkata, mengikuti
al-Hakim, “Jika dengan tasydîd maka itu berasal dari al-mahabbah dan jika tidak
dengan tasydîd maka itu berasal dari al-muhâbâh. Hal itu karena hadiah termasuk
bagian dari akhlak Islam yang ditunjukkan oleh para nabi di didorong oleh para
pengganti mereka di antara para wali; (bisa) melembutkan hati dan melenyapkan
kemarahan di dalam dada.”
Hadiah adalah
pemberian dalam makna pemindahan kepemilikan suatu harta kepada pihak lain
karena adanya hubungan, untuk menjalin kedekatan dan kasih sayang, atau sebagai
penghormatan. Tampak jelas di dalam hadis di atas adanya perintah untuk saling
memberi hadiah. Perintah itu dikaitkan dengan qarînah, yaitu dengan saling
menghadiahi akan tumbuh rasa saling mencintai. Qarînah ini menunjukkan bahwa
memberi hadiah itu lebih diutamakan untuk dilakukan. Dengan demikian, itu
menunjukkan bahwa saling memberi hadiah hukumnya sunnah.
Dalam beberapa
riwayat, Rasul sangat mendorong agar kaum Muslim saling memberi hadiah, bahkan
meski hadiah itu secara materi nilainya kecil. Beliau berkata, “…meski sebuah
tungkai kambing.”
Karena itu, dalam hal
saling menghadiahi ini, yang harus dilihat adalah nilai maknawinya, bukan nilai
materinya; yaitu dipandang sebagai pemberian tulus, ungkapan dari kedekatan,
persahabatan dan kecintaan. Dengan begitu, hadiah tersebut apapun bentuknya,
betapapun kecilnya, dan berapapun nilainya akan bisa membangkitkan keridhaan,
kecintaan dan kasih sayang dan sebaliknya, akan menjauhkan permusuhan.
Walhasil, pembiasaan
saling memberi hadiah akan bisa meningkatkan rasa saling mencintai dan
menyayangi. Jika saling memberi hadiah menjadi kebiasaan atau sering dilakukan
maka efeknya akan terakumulasi. Kecintaan, kasih-sayang dan kedekatan akan
semakin tinggi di antara mereka yang saling memberi hadiah itu. Hendaknya
kebiasaan itu kita tumbuh-suburkan.
Saling menghadiahilah
kalian niscaya kalian akan saling mencintai
تَهَادُوْا
تَحَابُّوْا
“Saling
menghadiahilah kalian niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Al-Bukhari
dalam Al-Adabul Mufrad no. 594, dihasankan Al-Imam Al-Albani t dalam Irwa`ul
Ghalil no. 1601)
Hadits yang mulia di
atas menunjukkan bahwa pemberian hadiah1 akan menarik rasa cinta di antara
sesama manusia, karena tabiat jiwa memang senang terhadap orang yang berbuat
baik kepadanya. Inilah sebab disyariatkannya memberi hadiah. Dengannya akan
terwujud kebaikan dan kedekatan. Sementara agama Islam adalah agama yang
mementingkan kedekatan hati dan rasa cinta. Allah k berfirman:
“Ingatlah nikmat
Allah kepada kalian, ketika sebelumnya (di masa jahiliah) kalian saling
bermusuhan lalu ia menjinakkan (mempersaudarakan) hati-hati kalian maka kalian
pun dengan nikmat-Nya menjadi orang-orang yang bersaudara.” (Ali ‘Imran: 103)
[Taudhihul Ahkam, 5/127, 128]
Hadiah menumbuhkan
cinta yang berarti akan mengusir kebencian, permusuhan, dan kedengkian di dalam
hati. Ada hadits yang datang dalam hal ini namun sangat disayangkan haditsnya
lemah berikut seluruh syawahid-nya, yaitu hadits:
تَهَادُوْا، فَإِنَّ
الْهَدِيَّةَ تَُذْهِبُ بِالسَّخِيمَةِ
“Saling
menghadiahilah kalian karena sesungguhnya hadiah itu akan
mencabut/menghilangkan kedengkian.” (HR. Ibnu Mandah, lihat pembahasannya dalam
Irwa`ul Ghalil, 6/45, 46)
Memberi Hadiah kepada
Sesama Wanita
Abu Hurairah z
menyampaikan sabda Nabi n kepada para wanita:
يَا نِسَاءَ
الْمُسْلِمَاتِ، لاَ تُحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ
“Wahai wanita-wanita
muslimah, jangan sekali-kali seorang tetangga menganggap remeh untuk memberikan
hadiah kepada tetangganya walaupun hanya sepotong kaki kambing.” (HR.
Al-Bukhari no. 2566 dan Muslim no. 2376)
Hadits di atas berisi
hasungan untuk melakukan kebajikan sebagai salah satu akhlak kaum muslimin dan
muslimat, di mana merekalah yang sepantasnya mempunyai sifat yang mulia ini.
Sebagaimana hadits ini juga menunjukkan keutamaan memberikan hadiah kepada
sesama, dan ada keterangan tentang hak tetangga yang harus diperlakukan dengan
baik. Sampai-sampai Rasulullah n berpesan kepada Abu Dzar z:
يَا أَبَا ذَرٍّ،
إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً فَأَكْثِرْ مَاءَهَا وَتَعَاهَدْ جِيْرَانَكَ
“Wahai Abu Dzar, bila
engkau memasak makanan berkuah maka perbanyaklah air/kuahnya dan berikanlah
kepada tetanggamu.” (HR. Muslim no. 6631)
Al-Hafizh Ibnu Hajar
Al-‘Asqalani t menyatakan bahwa hadits Abu Hurairah z di atas memberikan isyarat
ditekankannya memberikan hadiah walaupun dengan sesuatu yang sedikit/kecil, dan
ditekankannya menerima pemberian/hadiah walaupun sedikit/tidak berarti. (Fathul
Bari 5/244, 245)
Dalam hadits ini
terdapat bimbingan:
Pertama: kepada si
pemberi/pihak yang menghadiahkan, janganlah menahan diri untuk memberi hadiah
kepada tetangganya karena menganggap kecil dan remeh hadiah yang akan
diberikan. Sedikit lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Jangan ia
menganggap tiada berarti apa yang ada pada dirinya. Bahkan hendaknya ia
menghadiahkan apa yang mudah baginya. Karena Allah k telah berfirman:
Siapa yang
mengerjakan kebaikan walau seberat dzarrah (semut yang sangat kecil) niscaya
nanti ia akan melihat (balasan)nya. (Al-Zalzalah: 7)
Rasulullah n pun bersabda:
فَاتَّقُوا النَّارَ
وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ
“Maka jagalah diri
kalian dari neraka walaupun dengan bersedekah sepotong belahan kurma.” (HR.
Al-Bukhari no. 6539 dan Muslim no. 2345)
Perlu diketahui,
maksud dari hadiah itu adalah pengaruhnya secara maknawi, bukan materi dan
manfaatnya secara material semata. Sungguh yang namanya hadiah walaupun
kecil/sedikit akan dapat menumbuhkan cinta dan persaudaraan.
Al-Hafizh t dalam
Fathul Bari menyebutkan hadits Aisyah Ummul Mukminin x yang diriwayatkan oleh
Ath-Thabarani:
يَا نِسَاءَ
الْمُؤْمِنِيْنَ، تَهَادُوْا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ, فَإِنَّهُ يُنْبِتُ
الْمَوَدَّةَ وَيُذْهِبُ الضَّغَائِنَ
“Wahai
wanita-wanitanya kaum mukminin, saling menghadiahilah kalian walaupun hanya
dengan sepotong kaki kambing, karena yang demikian itu akan menumbuhkan rasa
cinta dan menghilangkan kedengkian.”
Kedua: Bagi yang
dihadiahi sepantasnya menerima hadiah yang diberikan tetangganya tersebut dan
jangan menganggapnya remeh. (Al-Minhaj 7/121, Fathul Bari 5/245, Subulus Salam
5/241)
Memberi Hadiah kepada
Lawan Jenis
Seorang wanita
dibolehkan memberi dan menerima hadiah dari laki-laki yang bukan mahramnya,
demikian pula sebaliknya, dengan catatan apabila aman dari fitnah2. Hal ini
tidaklah bertentangan dengan kisah yang disebutkan dalam Al-Qur`anul Karim
tentang Ratu negeri Saba` dengan Nabi Sulaiman q. Dikisahkan, ratu ini berkata
kepada kaumnya:
“Dan sesungguhnya aku
akan mengirim utusan kepada mereka dengan membawa hadiah dan aku akan menunggu
apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu.” (An-Naml: 35)
Ternyata hadiah dari
sang ratu ditolak oleh Nabi Sulaiman q:
“Maka tatkala utusan
itu sampai kepada Sulaiman, Sulaiman berkata, ‘Apakah patut kalian menolong aku
dengan harta? Maka apa yang diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa
yang diberikan-Nya kepada kalian, tetapi kalian merasa bangga dengan hadiah
kalian’.” (An-Naml: 36)
Nabi Sulaiman q
menolak hadiah Ratu Saba’ karena hadiah tersebut merupakan sogokan agar Nabi
Sulaiman q membiarkan keberadaan kerajaan Ratu Saba’ berikut kebiasaan mereka
menyembah matahari.
Al-Imam Al-Qurthubi t
berkata, “Nabi n menerima hadiah dan membalasnya, namun beliau tidak menerima
sedekah. Demikian pula Nabi Sulaiman dan seluruh para nabi, shalawat Allah k
atas mereka semuanya. Adapun penolakan Nabi Sulaiman q terhadap hadiah yang
diberikan Balqis3 (Ratu Saba`, pent.) karena Balqis menjadikan penerimaan dan
penolakan hadiah tersebut sebagai tanda terhadap apa yang ada dalam jiwanya
berdasarkan apa yang kita telah sebutkan. Yakni, ia ingin menguji apakah
Sulaiman seorang raja ataukah seorang nabi. Karena dalam suratnya Nabi Sulaiman
q menyatakan kepada sang ratu:
“Janganlah kalian
berlaku sombong terhadapku dan datanglah kalian kepadaku sebagai orang-orang
yang berserah diri.” (An-Naml: 31)
Dalam perkara seperti
ini tentunya tidak diterima tebusan dan tidak pula hadiah. Sehingga dalam
keadaan ini bukanlah sama sekali termasuk bab/pembahasan keharusan menerima
hadiah seperti yang ditetapkan oleh syariat. Namun ini merupakan sogokan dan
menjual kebenaran dengan kebatilan. Ini adalah sogokan yang tidak halal
(sehingga harus ditolak, pent.)….” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 13/132)
Ibnu Abbas c
mengabarkan:
أَهْدَتْ خَالَتِي
أُمُّ حُفَيْدٍ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ n سَمْنًا وَأَقِطًا وَأَضُبًّا، فَأَكَلَ
مِنَ السَّمْنِ وَالْأَقِطِ وَتَرَكَ اْلضَّبَّ تَقَذُّرًا. وَأُكِلَ عَلَى
مَائِدَةِ رَسُوْلِ اللهِ n, وَلَوْ كَانَ حَرَامًا مَا أُكِلَ عَلى مَائِدَةِ
رَسُوْلِ اللهِ n.
“Bibiku Ummu Hufaid
menghadiahkan kepada Rasulullah n mentega, keju, dan dhab (sejenis biawak yang
hidup di padang pasir, pent.). Maka beliau memakan mentega dan keju serta
meninggalkan (tidak memakan) dhab karena tidak suka. Dhab tersebut disantap
(dihidangkan dan dimakan oleh yang lain, pent.) di atas tempat hidangan
Rasulullah n. Seandainya dhab itu haram, niscaya tidak akan disantap di atas
tempat hidangan Rasulullah n4.” (HR. Al-Bukhari no. 2575 dan Muslim no. 5013)
Hadits di atas
menunjukkan bolehnya seorang wanita memberikan hadiah kepada laki-laki dan
diperkenankannya menerima hadiah tersebut.
Anas bin Malik z
berkata:
أُتِيَ النَّبِيُّ n
بِلَحْمٍ, فَقِيْلَ: تُصُدِّقَ عَلَى بَرِيْرَةٍ. قَالَ: هُوَ لَهَا صَدَقَةٌ
وَلَنَا هَدِيَّةٌ
Didatangkan kepada
Nabi n daging, lalu dikatakan, “Daging ini disedekahkan untuk Barirah.” Beliau
menjawab, “Untuk Barirah ini sedekah, tapi bagi kita ini hadiah.” (HR.
Al-Bukhari no. 2577)
Dalam riwayat Muslim
(no. 2482) disebutkan:
أَهْدَتْ بَرِيْرَةُ
إِلَى النَّبِيِّ n لَحْمًا تُصُدِّقَ بِهِ عَلَيْهَا, فَقَالَ: هُوَ لَهَا
صَدَقَةٌ وَلَنَا هَدِيَّةٌ
Barirah menghadiahi
Nabi n daging yang disedekahkan kepadanya. Maka Nabi mengatakan, “Untuk Barirah
ini sedekah, tapi bagi kita ini hadiah.”
Diberitakan oleh Abu
Hurairah z:
كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ
n إِذَا أُتِيَ بِطَعَامٍ، سَأَلَ عَنْهُ: أَهَدِيَّةٌ أَمْ صَدَقَةٌ؟ فَإِنْ
قِيْلَ: صَدَقَةٌ. قَالَ لِأَصْحَابِهِ: كُلُوْا. وَلَمْ يَأْكُلْ، وَإِنْ قِيْلَ:
هَدِيَّةٌ، ضَرَبَ بِيَدِهِ n وَأَكَلَ مَعَهُمْ.
Biasanya Rasulullah n
bila dihidangkan makanan, beliau menanyakannya, “Apakah makanan ini hadiah
ataukah sedekah?” Bila dijawab, “Sedekah”, beliau mempersilakan kepada para
sahabatnya, “Makanlah kalian.” Sementara beliau sendiri tidak memakannya. Bila
dijawab, “Hadiah”, beliau dengan segera memakannya bersama para sahabatnya.
(HR. Al-Bukhari no. 2576)
Hadits ini secara
umum menunjukkan bolehnya menerima hadiah dari siapa saja, baik dari wanita
ataupun lelaki, dari anak kecil ataupun orang dewasa. Karena Rasulullah n
ketika diberitahu bahwa makanan yang disajikan itu hadiah, beliau tidak
bertanya lebih lanjut, “Dari siapakah hadiah ini? Apakah dari wanita atau
lelaki?”
Kebolehan memberi dan
menerima hadiah dari lawan jenis, bila aman dari fitnah, juga ditunjukkan dalam
hadits Ummu ‘Athiyyah x ia berkata:
دَخَلَ النَّـبِيُّ n
عَلَى عَائِشَةَ، فَقَالَ: عِنْدَ كُمْ شَيْءٌ؟ قَالَتْ: لاَ، إِلاَّ شَيْءٌ
بَعَثَتْ بِهِ أُمُّ عَطِيَّةَ مِنَ الشَّاةِ الَّتـِي بَعَثْتَ إِلَيْهَا مِنَ
الصَّدَقَةِ. قَالَ: إِنَّهُ قَدْ بَلَغَتْ مَحِلَّهَا
Nabi n masuk ke
tempat Aisyah lalu bertanya, “Apa kalian punya sesuatu yang bisa dimakan?”
“Tidak ada,” jawab Aisyah, “Kecuali hanya daging kambing yang dikirimkan
(dihadiahkan) Ummu ‘Athiyyah yang tadinya engkau kirimkan kepadanya sebagai
daging sedekah.” Beliau menjawab, “Daging itu telah sampai pada tempatnya5.”
(HR. Al-Bukhari no. 2579 dan Muslim no. 2487)
Tidak halal bagi
Rasulullah n mengambil sedekah dan memakannya. Beda halnya dengan hadiah,
beliau n menerimanya karena dihalalkan bagi beliau. Dalam hadits di atas,
Rasulullah n mengajari istri beliau, Aisyah x bahwa bila sedekah itu telah
diambil oleh orang yang halal/dibolehkan untuk mengambilnya, kemudian orang
tersebut ternyata memberikannya kepada orang lain sebagai hadiah atau
menjualnya kepada orang lain, maka telah hilang dari benda/barang tersebut
hukum sedekah. Sehingga dibolehkan bagi orang yang haram mengambil/makan dari
harta sedekah untuk mengambil dan memanfaatkannya. (Fathul Bari, 5/253)
Rasulullah n pernah
menyuruh putri beliau Fathimah x untuk mengirimkan tirai/tabir pintunya sebagai
hadiah kepada salah seorang sahabat beliau yang punya kebutuhan. Ibnu Umar c
mengabarkan:
أَتَى النَّبِيُّ n
بَيْتَ فَاطِمَةَ فَلَمْ يَدْخُلْ عَلَيْهَا، وَجَاءَ عَلِيٌّ فَذَكَرَتْ لَهُ
ذَلِكَ، فَذَكَرَهُ لِلنَّبِيِّ، قَالَ: إِنِّي رَأَيْتُ عَلَى بَابِهَا سِتْرًا
مَوْشِيًّا. فَقَالَ: مَالِي وَلِلدُّنْيَا؟ فَأَتَاهَا عَلِيٌّ فَذَكَرَ ذَلِكَ
لَهَا، فَقَالَتْ: لِيَأْمُرْنِي فِيْهِ بِمَا شَاءَ. قَالَ: تُرْسِلِيْ بِهِ
إِلَى فُلاَنٍ، أَهْلِ بَيْتٍ فِيْهِمْ حَاجَةٌ
Nabi n datang ke
rumah Fathimah, namun beliau tidak mau masuk ke dalam rumah putrinya ini.
Setelahnya datanglah Ali, maka Fathimah menceritakan hal ini kepada suaminya.
Ali pun menemui Nabi n guna menanyakan sebabnya. Rasulullah n menjelaskan, “Aku
melihat di atas pintu rumahnya ada tabir/tirai bergaris dengan beragam warna.”
Beliau kemudian berkata, “Apa urusanku dengan dunia?” Ali menemui istrinya lalu
menyampaikannya, maka Fathimah berkata, “Silakan beliau memerintahkan kepadaku
sekehendak beliau sehubungan dengan tabir/tirai itu.” Rasulullah n pun
memberikan bimbingan, “Hendaknya Fathimah mengirimkan tabir/tirai itu kepada si
Fulan, keluarga yang punya kebutuhan6.” (HR. Al-Bukhari no. 2613)
Rasulullah n juga
pernah menerima hadiah dari seorang wanita Yahudi seperti dikabarkan Anas bin
Malik z, ia berkata:
أَنَّ يَهُوْدِيَّةً
أَتَتِ النَّبِيَّ n بِشَاةٍ مَسْمُوْمَةٍ, فَأَكَلَ مِنْهَا. فَقِيْلَ: أَلاَ
نَقْتُلُهَا؟ قَالَ: لاَ. فَمَا زِلْتُ أَعْرِفُهَا فِي لَهَوَاتِ رَسُوْلِ اللهِ
n.
Seorang wanita Yahudi
datang kepada Nabi n dengan membawa daging kambing yang beracun (sebagai hadiah
untuk Nabi n ), beliau pun memakannya. (Ternyata kemudian diketahui daging itu
beracun) maka dinyatakan kepada beliau, “Tidakkah kita bunuh wanita Yahudi
itu?” Rasulullah melarang, “Jangan.” Kata Anas, “Aku terus menerus mengenali
daging beracun itu pada anak lidah Rasulullah n.” (HR. Al-Bukhari no. 2617 dan
Muslim)
Sebagai akhir, yang
semestinya diperhatikan dalam memberikan hadiah adalah seseorang hendaknya
melihat keadaan orang yang akan diberikan hadiah agar hadiah tersebut berada
pada tempat yang semestinya dan lebih bermanfaat bagi yang menerimanya. Seorang
yang fakir diberikan hadiah yang bisa dimanfaatkannya dan bisa menolong
penghidupan serta nafkahnya. Sementara orang yang berpunya diberi hadiah pula
yang sesuai keadaannya seperti diberi minyak wangi dan semisalnya. Dengan
demikian masing-masing diberikan yang sesuai dengan keadaannya. (Taudhihul
Ahkam, 5/128)
Sisi Keindahan Islam
Anjuran agar saling
mendekatkan hati, saling bersaudara dan mencintai di antara sesama kaum
muslimin merupakan salah satu sisi keindahan Islam. Islam mensyari’atkan sarana
yang dapat menyebabkan keakraban, mendamaikan dan menghilangkan kabut hati. Di
antara sarana itu adalah saling memberikan hadiah di antara sesama muslim.
Hadiah dapat
melakukan apa yang tidak dapat dilakukan ucapan dan permintaan ma’af. Ia mampu
menghilangkan kabut hati, memadam kan api permusuhan, menenangkan kemarahan dan
melenyapkan rasa iri hati dan kedengkian. Ia dapat mendatangkan kecintaan dan
persahabatan setelah sekian lama tercerai-berai.
Hadiah selalu memberi
kesan perdamaian, rasa cinta dan penghargaan dari si pemberi kepada yang
diberi. Karena itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan agar
memberi dan menerima hadiah. Beliau menjelaskan pengaruh hadiah di dalam meraih
kecintaan dan kasih sayang di antara sesama manusia,
“Saling memberi
hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. al-Bukhari,
al-Adab al-Mufrid)
Beliau juga bersabda,
“Penuhilah undangan
orang yang mengundang, janganlah menolak hadiah…” (HR.Ahmad dan al-Bukhari di
dalam al-Adab al-Mufrid)
Mengenai hadits ini,
Ibn Hibbân mengomentari, “Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
mengecam tindakan menolak hadiah di kalangan sesama muslim. Bila seseorang
diberi sebuah hadiah, wajib baginya untuk menerimanya dan tidak menolaknya.
Saya menganjurkan orang-orang untuk saling mengirim hadiah kepada sesama
saudara. Sebab hadiah dapat melahirkan kecintaan dan menghilangkan rasa
dendam.”
Antara Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam dan Hadiah
Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam menerima hadiah dan tidak menerima sedekah. Dalam hadits Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Bila Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam disuguhi makanan, ia selalu bertanya; Apakah ia hadiah atau sedekah.?
Jika dijawab, ‘Sedekah’ maka ia berkata kepada para shahabatnya, ‘Makanlah oleh
kalian’ sementara ia tidak ikut memakannya. Sedangkan bila dijawab, ‘hadiah’
maka beliau mencuci tangannya lalu memakannya bersama mereka.’” (Muttafaqun
‘alaih)
Hadits lainnya
berasal dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam menerima hadiah dan mendoakan pahala bagi (pemberi)-nya.” (HR.
al-Bukhari)
Salah satu jenis
hadiah yang tidak pernah ditolak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah
wewangian. Hal ini sebagaimana hadits Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah menolak wewangian.” (HR. al-Bukhari)
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, “Siapa saja yang dihadiahi
‘Raihan’, maka janganlah menolaknya sebab ia ringan dibawa namun sedap baunya.”
(HR.Muslim)
Apa Yang Dilakukan
Orang-Orang Anshar?
Orang-orang Anshar
amat mengetahui betapa hajat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan
kesulitan hidup yang dialaminya. Karena itu, mereka selalu mengirim kan hadiah
dan pemberian untuk beliau. Hal ini diceritakan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
kepada ‘Urwah radhiyallahu ‘anhu bahwa seringkali di rumah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam tidak dinyalakan api karena tidak memasak. Lalu
ketika ‘Urwah bertanya apa yang dimakan bila kondisinya demikian. ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha menjawab, “Hanya korma dan air.” Kemudian ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha menceritakan bahwa sekalipun demikian, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam punya tetangga orang-orang Anshar yang selalu
mengirimkan hadiah, yaitu berupa air susu onta.” (Muttafaqun ‘alaih)
Memberi Hadiah Jangan
Diukur Nilai Materinya
Anjuran Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam agar saling memberi hadiah walaupun sedikit tidak
ditinjau dari sisi nilai materinya tetapi lebih kepada nilai maknawinya
sebagaimana yang telah disinggung di atas. Hal ini dapat terlihat dari sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melalui hadits Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau bersabda,
“Wahai para wanita
kaum muslimin, janganlah ada seorang tetangga meremehkan pemberian tetangganya
yang lain sekali ia (pemberian tersebut) berupa ujung kuku (teracak) unta.”
(HR.al-Bukhari). Padahal, apalah artinya kuku yang tentunya hanya menyisakan
sedikit daging.
Dalam hadits yang
lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan permisalan menarik yang
menunjukkan perlunya sikap tawadlu’ (rendah hati) dalam menerima hadiah apa
pun,
“Andaikata aku
diundang untuk menyantap makanan (yang berupa) bagian hasta atau bagian di
bawah tumit, niscaya aku penuhi undangan itu, dan andaikata aku dihadiahi hal
yang sama juga niscaya aku menerimanya.” (HR. al-Bukhari)
Bila kita renungkan
lebih mendalam, apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih
membutuhkan makanan dari orang lain? Jawabannya sudah pasti, tidak. Sebab
sebagaimana yang kita ketahui bahwa beliau diberi makan dan minum oleh Rabbnya
akan tetapi hal itu merupakan pelajaran praktis agar bersikap tawadlu’ dan
rendah hati terhadap kaum muslimin apa pun kedudukan mereka.
Kehidupan para ulama
Salaf juga sarat dengan hal itu di mana mereka saling memberi hadiah, sekecil
apa pun bentuknya, terkadang ada yang hanya berupa kurma yang belum matang, ada
yang berupa setangkai bunga mawar, ada yang hanya berupa garam yang ditumbuk
dan tetumbuhan yang wangi aromanya.
Saling Memberi Hadiah
antara Suami-Istri
Hadiah adalah sesuatu
yang mengagumkan, apalagi bila terjadi di antara suami-isteri. Ia dapat
menambah rasa kecintaan dan kedekatan hati antara keduanya, memperbarui ruh
kehidupan rumah tangga dan menghilangkan perselisihan yang sebelumnya bisa saja
akan bertambah meruncing bila kedua pasangan tidak menyadari apa yang dapat
menghilangkannya.
Seorang istri lebih
mudah tersentuh oleh hadiah yang diberikan suaminya ketimbang terhadap hadiah
orang lain, demikian pula dengan sang suami. Bahkan bila ingin, isteri boleh
memberikan sebagian maharnya kepada sang suami asalkan secara sukarela. Allah
subhanahu wata’alaberfirman,
“Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka
makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya.” (an-Nisâ`:4)
Beberapa Hal Penting
yang Perlu Diperhatikan
1. Tidak boleh
mengambil kembali hadiah yang telah diberikan kepada orang lain sebab hal itu
sebagaimana makna sebuah hadits sama seperti anjing yang menelan lagi makanan
yang telah dimuntahkannya. (Muttafaqun ‘alaih).
Akan tetapi, boleh
mengambil kembali hadiah yang telah diberikan karena alasan yang sesuai
syari’at seperti curiga bahwa ia berasal dari hasil suap. Contohnya, ash-Sha’b
bin Jatstsamah radhiyallahu ‘anhu pernah memberi hadiah seekor keledai liar
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ,, ,,namun beliau menolak nya
karena ia sedang berpakaian ihram. Demikian pula, bila seorang pegawai yang
sudah memiliki gaji diberi hadiah, maka ia tidak boleh menerimanya dan ini
seperti kasus Ibn al-Lutbiyyah di mana Rasulullah mengecamnya. (Muttafaqun
‘alaih)
2. Hendaknya yang
lebih diutamakan di dalam memberi hadiah adalah keluarga terdekat; kaum kerabat
seperti paman pihak ibu dan ayah dan orang semisal mereka. Demikian juga boleh
mendahulukan orang yang di hati seseorang mendapat tempat yang dekat. Imam
al-Bukhari mencantumkan bab tentang siapa yang lebih dahulu harus diberi
hadiah, lalu beliau mengetengahkan dua hadits; yang pertama, beliau menyarankan
kepada sang penanya agar diberikan kepada paman dari garis ibunya dan yang ke
dua ketika ditanyai kepada beliau mana di antara dua tetangga yang didahulukan
dalam memberi hadiah, beliau menjawab, “Yang paling dekat pintunya darimu.”