Cara untuk menumbuhkan kasih sayang dan cinta - PMR
Headlines News :
Home » » Cara untuk menumbuhkan kasih sayang dan cinta

Cara untuk menumbuhkan kasih sayang dan cinta

Written By Unknown on 27 Jan 2013 | 1/27/2013




“Cara Islam Dalam Menumbuhkan Kasih Sayang & Cinta”


 
Sudah diketahui secara umum, bahwa kaum muslim itu bersadara, yang berarti seorang muslim dengan orang muslim lainnya itu memiliki ikatan persaudaraan. Persaudaraan yang baik adalah persaudaraan yang kasih sayang dan cinta ada di dalamnya. Bukan malah sebaliknya.. kebencian dan saling menghancurkan. Semoga Cara Islam dalam menumbuhkan kasih sayang dan Cinta ini memberi inspirasi bagi semua untuk menumbuhkan persaudaraan yang diliputi kasih dan sayang.


Saling Memberikan Hadiah, Menyuburkan Cinta

« تَهَادَوْا تَحَابُّوا »

Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian saling mencintai (HR al-Bukhari, al-Baihaqi, Abu Ya’la)

Imam Bukhari mengeluarkan hadis di atas dalam Adab al-Mufrad, bab qabûl al-hadiyah, hadis no. 612. Imam al-Bukhari meriwayatkan hadis ini berturut-turut dari Amru bin Khalid, dari Dhimam bin Ismail, dari Musa bin Wardan, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw.

Abu Ya’la mengeluarkan hadis di atas dalam Musnad-nya, yakni hadis no. 6013, berturut-turut dari Suwaid bin Said, dari Dhimam bin Ismail, dari Musa bin Wardan, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw.

Adapun al-Baihaqi mengeluarkannya dalam Sunan al-Kubrâ, Syu’ab al-Îmân dan al-Adâb li al-Baihaqi.

Hadis ini juga keluarkan oleh Abu Bisyr Muhammad bin Ahmad ad-Daulabi dalam Al-Kunâ wa al-Asmâ’, Tamam bin Muhammad dalam Al-Fawâ’id Tamam, Ibn al-Muqri’ dalam Al-Mu’jam li Ibn al-Muqri’ dan an-Nasai dalam al-Kunâ.

Ibn Hajar al-‘Ashqalani dalam Talkhîsh al-Habîr berkomentar, “Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adabal-Mufrad dan al-Baihaqi. Ibn Thahir menyatakannya dalam Musnad asy-Syihâb dari jalur Muhammad bin Bukair, Dhimam bin Ismail, Musa bin Wardan dan Abu Hurairah; sanad-nya hasan…”[1]

Az-Zaila’i al-Hanafi mengomentari hadis tersebut, “Hadis ini diriwayatkan oleh Dhimam bin Ismail dan diperselisihkan. Lalu ia meriwayatkannya dari Musa bin Wardan, dari Abu Hurairah, dan dengan sanad ini Muslim mengeluarkan hadis Abu an-Nadzir. Dhimam juga meriwayatkannya dari Abu Qubail, dari Abdullah bin Amru. Jadi dimungkinkan bahwa Dhimam memiliki dua jalur: dari Abu Qubail dan dari Musa bin Wardan.”[2]

Jalur Dhimam bin Ismail dari Abu Qubail itu diriwayatkan oleh al-Hakim di dalam Ma’rifah ‘Ulûm al-Hadîts dari Abu Zakariya al-‘Anbari, dari Abu Abdillah al-Busyanji, dari Yahya bin Bukair dari Dhimam bin Ismail, dari Abu Qubail al-Ma’afiri, dari Abdullah bin Amru.

Al-‘Iraqi dalam Takhrîj Ahâdîts al-Ihyâ’ mengomentari hadis di atas, “Hadis ini dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Al-Adab al-Mufrad, dan al-Baihaqi dari hadis Abu Hurairah dengan sanad jayyid (bagus)”.[3]

Ibn ‘Adi meriwayatkannya dalam Al-Kâmil dan ia menilai ada ‘illat (cacat) pada diri Dhimam. Ibn ‘Adi berkomentar, “Sesunguhnya hadis-hadisnya tidak diriwayatkan oleh perawi yang lain.”

Namun, pada bagian awal biografi Dhimam ini, Ibn Adi menukil riwayat dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, bahwa ayahnya (yakni Ahmad bin Hanbal) berkata kepadanya, “Tulislah dari Suwaid hadis-hadis Dhimam.”[4]

Tentang Dhimam bin Ismail ini, al-Mazi dalam Tahdzîb al-Kamâl antaranya mengatakan, “Abdullah bin Ahmad bin Hanbal mengatakan dari ayahnya bahwa ia (Dhimam) shâlih al-hadîts. Abu Bakar bin Abi Khaitsamah mengatakan dari Yahya bin Ma’in, “Lâ ba’sa bihi (Tidak ada masalah dengannya).”

Abu Hatim berkata, “Ia shadûq (jujur) dan ahli ibadah.”

An-Nasai berkata, “Laysa bihi ba’sun (Tidak ada masalah dengannya). Ibn Hibban menyebutkannya di dalam kitab Ats-Tsiqât…”[5]

Dengan demikian, hadis Dhimam layak dijadikan hujjah, termasuk hadis di atas.

Imam Malik di dalam Al-Muwatha’ mengeluarkan hadis dari Atha’ ibn Abdillah al-Khurasani bahwa Rasul saw. juga pernah bersabda:

تَصَافَحُوا يَذْهَبْ الْغِلُّ، وَتَهَادَوْا تَحَابُّوا، وَتَذْهَبْ الشَّحْنَاءُ

Saling berjabat tanganlah kalian, niscaya akan hilang rasa dengki; dan saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian kalian akan saling mencintai dan akan lenyap rasa permusuhan (HR Malik).

Hadis Malik ini statusnya adalah hadis mursal, karena Atha’ ibn Abdillah al-Khurasani adalah seorang tâbi’în. Jadi, ada perawi dari thabaqât Sahabat yang tidak disebutkan. Namun demikian, tidak disebutkannya perawi Sahabat itu tidak berpengaruh karena para Sahabat semuanya—seperti yang dinyatakan oleh para ulama hadis—adalah adil. Dengan demikian hadis di atas dan hadis mursal ini boleh dijadikan hujjah.

Makna Hadis

Hadis ini menyatakan bahwa saling memberi hadiah merupakan sarana untuk menumbuhkan rasa saling mencintai di antara kaum Muslim. Al-Hafizh Ibn Hajar berkata, mengikuti al-Hakim, “Jika dengan tasydîd maka itu berasal dari al-mahabbah dan jika tidak dengan tasydîd maka itu berasal dari al-muhâbâh. Hal itu karena hadiah termasuk bagian dari akhlak Islam yang ditunjukkan oleh para nabi di didorong oleh para pengganti mereka di antara para wali; (bisa) melembutkan hati dan melenyapkan kemarahan di dalam dada.”

Hadiah adalah pemberian dalam makna pemindahan kepemilikan suatu harta kepada pihak lain karena adanya hubungan, untuk menjalin kedekatan dan kasih sayang, atau sebagai penghormatan. Tampak jelas di dalam hadis di atas adanya perintah untuk saling memberi hadiah. Perintah itu dikaitkan dengan qarînah, yaitu dengan saling menghadiahi akan tumbuh rasa saling mencintai. Qarînah ini menunjukkan bahwa memberi hadiah itu lebih diutamakan untuk dilakukan. Dengan demikian, itu menunjukkan bahwa saling memberi hadiah hukumnya sunnah.

Dalam beberapa riwayat, Rasul sangat mendorong agar kaum Muslim saling memberi hadiah, bahkan meski hadiah itu secara materi nilainya kecil. Beliau berkata, “…meski sebuah tungkai kambing.”

Karena itu, dalam hal saling menghadiahi ini, yang harus dilihat adalah nilai maknawinya, bukan nilai materinya; yaitu dipandang sebagai pemberian tulus, ungkapan dari kedekatan, persahabatan dan kecintaan. Dengan begitu, hadiah tersebut apapun bentuknya, betapapun kecilnya, dan berapapun nilainya akan bisa membangkitkan keridhaan, kecintaan dan kasih sayang dan sebaliknya, akan menjauhkan permusuhan.

Walhasil, pembiasaan saling memberi hadiah akan bisa meningkatkan rasa saling mencintai dan menyayangi. Jika saling memberi hadiah menjadi kebiasaan atau sering dilakukan maka efeknya akan terakumulasi. Kecintaan, kasih-sayang dan kedekatan akan semakin tinggi di antara mereka yang saling memberi hadiah itu. Hendaknya kebiasaan itu kita tumbuh-suburkan.

Saling menghadiahilah kalian niscaya kalian akan saling mencintai

تَهَادُوْا تَحَابُّوْا

“Saling menghadiahilah kalian niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 594, dihasankan Al-Imam Al-Albani t dalam Irwa`ul Ghalil no. 1601)

Hadits yang mulia di atas menunjukkan bahwa pemberian hadiah1 akan menarik rasa cinta di antara sesama manusia, karena tabiat jiwa memang senang terhadap orang yang berbuat baik kepadanya. Inilah sebab disyariatkannya memberi hadiah. Dengannya akan terwujud kebaikan dan kedekatan. Sementara agama Islam adalah agama yang mementingkan kedekatan hati dan rasa cinta. Allah k berfirman:

“Ingatlah nikmat Allah kepada kalian, ketika sebelumnya (di masa jahiliah) kalian saling bermusuhan lalu ia menjinakkan (mempersaudarakan) hati-hati kalian maka kalian pun dengan nikmat-Nya menjadi orang-orang yang bersaudara.” (Ali ‘Imran: 103) [Taudhihul Ahkam, 5/127, 128]

Hadiah menumbuhkan cinta yang berarti akan mengusir kebencian, permusuhan, dan kedengkian di dalam hati. Ada hadits yang datang dalam hal ini namun sangat disayangkan haditsnya lemah berikut seluruh syawahid-nya, yaitu hadits:

تَهَادُوْا، فَإِنَّ الْهَدِيَّةَ تَُذْهِبُ بِالسَّخِيمَةِ

“Saling menghadiahilah kalian karena sesungguhnya hadiah itu akan mencabut/menghilangkan kedengkian.” (HR. Ibnu Mandah, lihat pembahasannya dalam Irwa`ul Ghalil, 6/45, 46)

Memberi Hadiah kepada Sesama Wanita

Abu Hurairah z menyampaikan sabda Nabi n kepada para wanita:

يَا نِسَاءَ الْمُسْلِمَاتِ، لاَ تُحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ

“Wahai wanita-wanita muslimah, jangan sekali-kali seorang tetangga menganggap remeh untuk memberikan hadiah kepada tetangganya walaupun hanya sepotong kaki kambing.” (HR. Al-Bukhari no. 2566 dan Muslim no. 2376)

Hadits di atas berisi hasungan untuk melakukan kebajikan sebagai salah satu akhlak kaum muslimin dan muslimat, di mana merekalah yang sepantasnya mempunyai sifat yang mulia ini. Sebagaimana hadits ini juga menunjukkan keutamaan memberikan hadiah kepada sesama, dan ada keterangan tentang hak tetangga yang harus diperlakukan dengan baik. Sampai-sampai Rasulullah n berpesan kepada Abu Dzar z:

يَا أَبَا ذَرٍّ، إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً فَأَكْثِرْ مَاءَهَا وَتَعَاهَدْ جِيْرَانَكَ

“Wahai Abu Dzar, bila engkau memasak makanan berkuah maka perbanyaklah air/kuahnya dan berikanlah kepada tetanggamu.” (HR. Muslim no. 6631)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani t menyatakan bahwa hadits Abu Hurairah z di atas memberikan isyarat ditekankannya memberikan hadiah walaupun dengan sesuatu yang sedikit/kecil, dan ditekankannya menerima pemberian/hadiah walaupun sedikit/tidak berarti. (Fathul Bari 5/244, 245)

Dalam hadits ini terdapat bimbingan:

Pertama: kepada si pemberi/pihak yang menghadiahkan, janganlah menahan diri untuk memberi hadiah kepada tetangganya karena menganggap kecil dan remeh hadiah yang akan diberikan. Sedikit lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Jangan ia menganggap tiada berarti apa yang ada pada dirinya. Bahkan hendaknya ia menghadiahkan apa yang mudah baginya. Karena Allah k telah berfirman:

Siapa yang mengerjakan kebaikan walau seberat dzarrah (semut yang sangat kecil) niscaya nanti ia akan melihat (balasan)nya. (Al-Zalzalah: 7)

Rasulullah n pun bersabda:

فَاتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ

“Maka jagalah diri kalian dari neraka walaupun dengan bersedekah sepotong belahan kurma.” (HR. Al-Bukhari no. 6539 dan Muslim no. 2345)

Perlu diketahui, maksud dari hadiah itu adalah pengaruhnya secara maknawi, bukan materi dan manfaatnya secara material semata. Sungguh yang namanya hadiah walaupun kecil/sedikit akan dapat menumbuhkan cinta dan persaudaraan.

Al-Hafizh t dalam Fathul Bari menyebutkan hadits Aisyah Ummul Mukminin x yang diriwayatkan oleh Ath-Thabarani:

يَا نِسَاءَ الْمُؤْمِنِيْنَ، تَهَادُوْا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ, فَإِنَّهُ يُنْبِتُ الْمَوَدَّةَ وَيُذْهِبُ الضَّغَائِنَ

“Wahai wanita-wanitanya kaum mukminin, saling menghadiahilah kalian walaupun hanya dengan sepotong kaki kambing, karena yang demikian itu akan menumbuhkan rasa cinta dan menghilangkan kedengkian.”

Kedua: Bagi yang dihadiahi sepantasnya menerima hadiah yang diberikan tetangganya tersebut dan jangan menganggapnya remeh. (Al-Minhaj 7/121, Fathul Bari 5/245, Subulus Salam 5/241)

Memberi Hadiah kepada Lawan Jenis

Seorang wanita dibolehkan memberi dan menerima hadiah dari laki-laki yang bukan mahramnya, demikian pula sebaliknya, dengan catatan apabila aman dari fitnah2. Hal ini tidaklah bertentangan dengan kisah yang disebutkan dalam Al-Qur`anul Karim tentang Ratu negeri Saba` dengan Nabi Sulaiman q. Dikisahkan, ratu ini berkata kepada kaumnya:

“Dan sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan membawa hadiah dan aku akan menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu.” (An-Naml: 35)

Ternyata hadiah dari sang ratu ditolak oleh Nabi Sulaiman q:

“Maka tatkala utusan itu sampai kepada Sulaiman, Sulaiman berkata, ‘Apakah patut kalian menolong aku dengan harta? Maka apa yang diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepada kalian, tetapi kalian merasa bangga dengan hadiah kalian’.” (An-Naml: 36)

Nabi Sulaiman q menolak hadiah Ratu Saba’ karena hadiah tersebut merupakan sogokan agar Nabi Sulaiman q membiarkan keberadaan kerajaan Ratu Saba’ berikut kebiasaan mereka menyembah matahari.

Al-Imam Al-Qurthubi t berkata, “Nabi n menerima hadiah dan membalasnya, namun beliau tidak menerima sedekah. Demikian pula Nabi Sulaiman dan seluruh para nabi, shalawat Allah k atas mereka semuanya. Adapun penolakan Nabi Sulaiman q terhadap hadiah yang diberikan Balqis3 (Ratu Saba`, pent.) karena Balqis menjadikan penerimaan dan penolakan hadiah tersebut sebagai tanda terhadap apa yang ada dalam jiwanya berdasarkan apa yang kita telah sebutkan. Yakni, ia ingin menguji apakah Sulaiman seorang raja ataukah seorang nabi. Karena dalam suratnya Nabi Sulaiman q menyatakan kepada sang ratu:

“Janganlah kalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kalian kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.” (An-Naml: 31)

Dalam perkara seperti ini tentunya tidak diterima tebusan dan tidak pula hadiah. Sehingga dalam keadaan ini bukanlah sama sekali termasuk bab/pembahasan keharusan menerima hadiah seperti yang ditetapkan oleh syariat. Namun ini merupakan sogokan dan menjual kebenaran dengan kebatilan. Ini adalah sogokan yang tidak halal (sehingga harus ditolak, pent.)….” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 13/132)

Ibnu Abbas c mengabarkan:

أَهْدَتْ خَالَتِي أُمُّ حُفَيْدٍ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ n سَمْنًا وَأَقِطًا وَأَضُبًّا، فَأَكَلَ مِنَ السَّمْنِ وَالْأَقِطِ وَتَرَكَ اْلضَّبَّ تَقَذُّرًا. وَأُكِلَ عَلَى مَائِدَةِ رَسُوْلِ اللهِ n, وَلَوْ كَانَ حَرَامًا مَا أُكِلَ عَلى مَائِدَةِ رَسُوْلِ اللهِ n.

“Bibiku Ummu Hufaid menghadiahkan kepada Rasulullah n mentega, keju, dan dhab (sejenis biawak yang hidup di padang pasir, pent.). Maka beliau memakan mentega dan keju serta meninggalkan (tidak memakan) dhab karena tidak suka. Dhab tersebut disantap (dihidangkan dan dimakan oleh yang lain, pent.) di atas tempat hidangan Rasulullah n. Seandainya dhab itu haram, niscaya tidak akan disantap di atas tempat hidangan Rasulullah n4.” (HR. Al-Bukhari no. 2575 dan Muslim no. 5013)

Hadits di atas menunjukkan bolehnya seorang wanita memberikan hadiah kepada laki-laki dan diperkenankannya menerima hadiah tersebut.

Anas bin Malik z berkata:

أُتِيَ النَّبِيُّ n بِلَحْمٍ, فَقِيْلَ: تُصُدِّقَ عَلَى بَرِيْرَةٍ. قَالَ: هُوَ لَهَا صَدَقَةٌ وَلَنَا هَدِيَّةٌ

Didatangkan kepada Nabi n daging, lalu dikatakan, “Daging ini disedekahkan untuk Barirah.” Beliau menjawab, “Untuk Barirah ini sedekah, tapi bagi kita ini hadiah.” (HR. Al-Bukhari no. 2577)

Dalam riwayat Muslim (no. 2482) disebutkan:

أَهْدَتْ بَرِيْرَةُ إِلَى النَّبِيِّ n لَحْمًا تُصُدِّقَ بِهِ عَلَيْهَا, فَقَالَ: هُوَ لَهَا صَدَقَةٌ وَلَنَا هَدِيَّةٌ

Barirah menghadiahi Nabi n daging yang disedekahkan kepadanya. Maka Nabi mengatakan, “Untuk Barirah ini sedekah, tapi bagi kita ini hadiah.”

Diberitakan oleh Abu Hurairah z:

كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ n إِذَا أُتِيَ بِطَعَامٍ، سَأَلَ عَنْهُ: أَهَدِيَّةٌ أَمْ صَدَقَةٌ؟ فَإِنْ قِيْلَ: صَدَقَةٌ. قَالَ لِأَصْحَابِهِ: كُلُوْا. وَلَمْ يَأْكُلْ، وَإِنْ قِيْلَ: هَدِيَّةٌ، ضَرَبَ بِيَدِهِ n وَأَكَلَ مَعَهُمْ.

Biasanya Rasulullah n bila dihidangkan makanan, beliau menanyakannya, “Apakah makanan ini hadiah ataukah sedekah?” Bila dijawab, “Sedekah”, beliau mempersilakan kepada para sahabatnya, “Makanlah kalian.” Sementara beliau sendiri tidak memakannya. Bila dijawab, “Hadiah”, beliau dengan segera memakannya bersama para sahabatnya. (HR. Al-Bukhari no. 2576)

Hadits ini secara umum menunjukkan bolehnya menerima hadiah dari siapa saja, baik dari wanita ataupun lelaki, dari anak kecil ataupun orang dewasa. Karena Rasulullah n ketika diberitahu bahwa makanan yang disajikan itu hadiah, beliau tidak bertanya lebih lanjut, “Dari siapakah hadiah ini? Apakah dari wanita atau lelaki?”

Kebolehan memberi dan menerima hadiah dari lawan jenis, bila aman dari fitnah, juga ditunjukkan dalam hadits Ummu ‘Athiyyah x ia berkata:

دَخَلَ النَّـبِيُّ n عَلَى عَائِشَةَ، فَقَالَ: عِنْدَ كُمْ شَيْءٌ؟ قَالَتْ: لاَ، إِلاَّ شَيْءٌ بَعَثَتْ بِهِ أُمُّ عَطِيَّةَ مِنَ الشَّاةِ الَّتـِي بَعَثْتَ إِلَيْهَا مِنَ الصَّدَقَةِ. قَالَ: إِنَّهُ قَدْ بَلَغَتْ مَحِلَّهَا

Nabi n masuk ke tempat Aisyah lalu bertanya, “Apa kalian punya sesuatu yang bisa dimakan?” “Tidak ada,” jawab Aisyah, “Kecuali hanya daging kambing yang dikirimkan (dihadiahkan) Ummu ‘Athiyyah yang tadinya engkau kirimkan kepadanya sebagai daging sedekah.” Beliau menjawab, “Daging itu telah sampai pada tempatnya5.” (HR. Al-Bukhari no. 2579 dan Muslim no. 2487)

Tidak halal bagi Rasulullah n mengambil sedekah dan memakannya. Beda halnya dengan hadiah, beliau n menerimanya karena dihalalkan bagi beliau. Dalam hadits di atas, Rasulullah n mengajari istri beliau, Aisyah x bahwa bila sedekah itu telah diambil oleh orang yang halal/dibolehkan untuk mengambilnya, kemudian orang tersebut ternyata memberikannya kepada orang lain sebagai hadiah atau menjualnya kepada orang lain, maka telah hilang dari benda/barang tersebut hukum sedekah. Sehingga dibolehkan bagi orang yang haram mengambil/makan dari harta sedekah untuk mengambil dan memanfaatkannya. (Fathul Bari, 5/253)

Rasulullah n pernah menyuruh putri beliau Fathimah x untuk mengirimkan tirai/tabir pintunya sebagai hadiah kepada salah seorang sahabat beliau yang punya kebutuhan. Ibnu Umar c mengabarkan:

أَتَى النَّبِيُّ n بَيْتَ فَاطِمَةَ فَلَمْ يَدْخُلْ عَلَيْهَا، وَجَاءَ عَلِيٌّ فَذَكَرَتْ لَهُ ذَلِكَ، فَذَكَرَهُ لِلنَّبِيِّ، قَالَ: إِنِّي رَأَيْتُ عَلَى بَابِهَا سِتْرًا مَوْشِيًّا. فَقَالَ: مَالِي وَلِلدُّنْيَا؟ فَأَتَاهَا عَلِيٌّ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهَا، فَقَالَتْ: لِيَأْمُرْنِي فِيْهِ بِمَا شَاءَ. قَالَ: تُرْسِلِيْ بِهِ إِلَى فُلاَنٍ، أَهْلِ بَيْتٍ فِيْهِمْ حَاجَةٌ

Nabi n datang ke rumah Fathimah, namun beliau tidak mau masuk ke dalam rumah putrinya ini. Setelahnya datanglah Ali, maka Fathimah menceritakan hal ini kepada suaminya. Ali pun menemui Nabi n guna menanyakan sebabnya. Rasulullah n menjelaskan, “Aku melihat di atas pintu rumahnya ada tabir/tirai bergaris dengan beragam warna.” Beliau kemudian berkata, “Apa urusanku dengan dunia?” Ali menemui istrinya lalu menyampaikannya, maka Fathimah berkata, “Silakan beliau memerintahkan kepadaku sekehendak beliau sehubungan dengan tabir/tirai itu.” Rasulullah n pun memberikan bimbingan, “Hendaknya Fathimah mengirimkan tabir/tirai itu kepada si Fulan, keluarga yang punya kebutuhan6.” (HR. Al-Bukhari no. 2613)

Rasulullah n juga pernah menerima hadiah dari seorang wanita Yahudi seperti dikabarkan Anas bin Malik z, ia berkata:

أَنَّ يَهُوْدِيَّةً أَتَتِ النَّبِيَّ n بِشَاةٍ مَسْمُوْمَةٍ, فَأَكَلَ مِنْهَا. فَقِيْلَ: أَلاَ نَقْتُلُهَا؟ قَالَ: لاَ. فَمَا زِلْتُ أَعْرِفُهَا فِي لَهَوَاتِ رَسُوْلِ اللهِ n.

Seorang wanita Yahudi datang kepada Nabi n dengan membawa daging kambing yang beracun (sebagai hadiah untuk Nabi n ), beliau pun memakannya. (Ternyata kemudian diketahui daging itu beracun) maka dinyatakan kepada beliau, “Tidakkah kita bunuh wanita Yahudi itu?” Rasulullah melarang, “Jangan.” Kata Anas, “Aku terus menerus mengenali daging beracun itu pada anak lidah Rasulullah n.” (HR. Al-Bukhari no. 2617 dan Muslim)

Sebagai akhir, yang semestinya diperhatikan dalam memberikan hadiah adalah seseorang hendaknya melihat keadaan orang yang akan diberikan hadiah agar hadiah tersebut berada pada tempat yang semestinya dan lebih bermanfaat bagi yang menerimanya. Seorang yang fakir diberikan hadiah yang bisa dimanfaatkannya dan bisa menolong penghidupan serta nafkahnya. Sementara orang yang berpunya diberi hadiah pula yang sesuai keadaannya seperti diberi minyak wangi dan semisalnya. Dengan demikian masing-masing diberikan yang sesuai dengan keadaannya. (Taudhihul Ahkam, 5/128)

Sisi Keindahan Islam

Anjuran agar saling mendekatkan hati, saling bersaudara dan mencintai di antara sesama kaum muslimin merupakan salah satu sisi keindahan Islam. Islam mensyari’atkan sarana yang dapat menyebabkan keakraban, mendamaikan dan menghilangkan kabut hati. Di antara sarana itu adalah saling memberikan hadiah di antara sesama muslim.

Hadiah dapat melakukan apa yang tidak dapat dilakukan ucapan dan permintaan ma’af. Ia mampu menghilangkan kabut hati, memadam kan api permusuhan, menenangkan kemarahan dan melenyapkan rasa iri hati dan kedengkian. Ia dapat mendatangkan kecintaan dan persahabatan setelah sekian lama tercerai-berai.

Hadiah selalu memberi kesan perdamaian, rasa cinta dan penghargaan dari si pemberi kepada yang diberi. Karena itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan agar memberi dan menerima hadiah. Beliau menjelaskan pengaruh hadiah di dalam meraih kecintaan dan kasih sayang di antara sesama manusia,
“Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. al-Bukhari, al-Adab al-Mufrid)

Beliau juga bersabda,
“Penuhilah undangan orang yang mengundang, janganlah menolak hadiah…” (HR.Ahmad dan al-Bukhari di dalam al-Adab al-Mufrid)

Mengenai hadits ini, Ibn Hibbân mengomentari, “Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengecam tindakan menolak hadiah di kalangan sesama muslim. Bila seseorang diberi sebuah hadiah, wajib baginya untuk menerimanya dan tidak menolaknya. Saya menganjurkan orang-orang untuk saling mengirim hadiah kepada sesama saudara. Sebab hadiah dapat melahirkan kecintaan dan menghilangkan rasa dendam.”

Antara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan Hadiah

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menerima hadiah dan tidak menerima sedekah. Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Bila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam disuguhi makanan, ia selalu bertanya; Apakah ia hadiah atau sedekah.? Jika dijawab, ‘Sedekah’ maka ia berkata kepada para shahabatnya, ‘Makanlah oleh kalian’ sementara ia tidak ikut memakannya. Sedangkan bila dijawab, ‘hadiah’ maka beliau mencuci tangannya lalu memakannya bersama mereka.’” (Muttafaqun ‘alaih)

Hadits lainnya berasal dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menerima hadiah dan mendoakan pahala bagi (pemberi)-nya.” (HR. al-Bukhari)

Salah satu jenis hadiah yang tidak pernah ditolak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah wewangian. Hal ini sebagaimana hadits Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah menolak wewangian.” (HR. al-Bukhari) Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, “Siapa saja yang dihadiahi ‘Raihan’, maka janganlah menolaknya sebab ia ringan dibawa namun sedap baunya.” (HR.Muslim)

Apa Yang Dilakukan Orang-Orang Anshar?

Orang-orang Anshar amat mengetahui betapa hajat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kesulitan hidup yang dialaminya. Karena itu, mereka selalu mengirim kan hadiah dan pemberian untuk beliau. Hal ini diceritakan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha kepada ‘Urwah radhiyallahu ‘anhu bahwa seringkali di rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak dinyalakan api karena tidak memasak. Lalu ketika ‘Urwah bertanya apa yang dimakan bila kondisinya demikian. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menjawab, “Hanya korma dan air.” Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan bahwa sekalipun demikian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam punya tetangga orang-orang Anshar yang selalu mengirimkan hadiah, yaitu berupa air susu onta.” (Muttafaqun ‘alaih)

Memberi Hadiah Jangan Diukur Nilai Materinya

Anjuran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar saling memberi hadiah walaupun sedikit tidak ditinjau dari sisi nilai materinya tetapi lebih kepada nilai maknawinya sebagaimana yang telah disinggung di atas. Hal ini dapat terlihat dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melalui hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau bersabda,
“Wahai para wanita kaum muslimin, janganlah ada seorang tetangga meremehkan pemberian tetangganya yang lain sekali ia (pemberian tersebut) berupa ujung kuku (teracak) unta.” (HR.al-Bukhari). Padahal, apalah artinya kuku yang tentunya hanya menyisakan sedikit daging.

Dalam hadits yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan permisalan menarik yang menunjukkan perlunya sikap tawadlu’ (rendah hati) dalam menerima hadiah apa pun,
“Andaikata aku diundang untuk menyantap makanan (yang berupa) bagian hasta atau bagian di bawah tumit, niscaya aku penuhi undangan itu, dan andaikata aku dihadiahi hal yang sama juga niscaya aku menerimanya.” (HR. al-Bukhari)

Bila kita renungkan lebih mendalam, apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih membutuhkan makanan dari orang lain? Jawabannya sudah pasti, tidak. Sebab sebagaimana yang kita ketahui bahwa beliau diberi makan dan minum oleh Rabbnya akan tetapi hal itu merupakan pelajaran praktis agar bersikap tawadlu’ dan rendah hati terhadap kaum muslimin apa pun kedudukan mereka.

Kehidupan para ulama Salaf juga sarat dengan hal itu di mana mereka saling memberi hadiah, sekecil apa pun bentuknya, terkadang ada yang hanya berupa kurma yang belum matang, ada yang berupa setangkai bunga mawar, ada yang hanya berupa garam yang ditumbuk dan tetumbuhan yang wangi aromanya.

Saling Memberi Hadiah antara Suami-Istri

Hadiah adalah sesuatu yang mengagumkan, apalagi bila terjadi di antara suami-isteri. Ia dapat menambah rasa kecintaan dan kedekatan hati antara keduanya, memperbarui ruh kehidupan rumah tangga dan menghilangkan perselisihan yang sebelumnya bisa saja akan bertambah meruncing bila kedua pasangan tidak menyadari apa yang dapat menghilangkannya.

Seorang istri lebih mudah tersentuh oleh hadiah yang diberikan suaminya ketimbang terhadap hadiah orang lain, demikian pula dengan sang suami. Bahkan bila ingin, isteri boleh memberikan sebagian maharnya kepada sang suami asalkan secara sukarela. Allah subhanahu wata’alaberfirman,
“Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (an-Nisâ`:4)

Beberapa Hal Penting yang Perlu Diperhatikan

1. Tidak boleh mengambil kembali hadiah yang telah diberikan kepada orang lain sebab hal itu sebagaimana makna sebuah hadits sama seperti anjing yang menelan lagi makanan yang telah dimuntahkannya. (Muttafaqun ‘alaih).

Akan tetapi, boleh mengambil kembali hadiah yang telah diberikan karena alasan yang sesuai syari’at seperti curiga bahwa ia berasal dari hasil suap. Contohnya, ash-Sha’b bin Jatstsamah radhiyallahu ‘anhu pernah memberi hadiah seekor keledai liar kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ,, ,,namun beliau menolak nya karena ia sedang berpakaian ihram. Demikian pula, bila seorang pegawai yang sudah memiliki gaji diberi hadiah, maka ia tidak boleh menerimanya dan ini seperti kasus Ibn al-Lutbiyyah di mana Rasulullah mengecamnya. (Muttafaqun ‘alaih)

2. Hendaknya yang lebih diutamakan di dalam memberi hadiah adalah keluarga terdekat; kaum kerabat seperti paman pihak ibu dan ayah dan orang semisal mereka. Demikian juga boleh mendahulukan orang yang di hati seseorang mendapat tempat yang dekat. Imam al-Bukhari mencantumkan bab tentang siapa yang lebih dahulu harus diberi hadiah, lalu beliau mengetengahkan dua hadits; yang pertama, beliau menyarankan kepada sang penanya agar diberikan kepada paman dari garis ibunya dan yang ke dua ketika ditanyai kepada beliau mana di antara dua tetangga yang didahulukan dalam memberi hadiah, beliau menjawab, “Yang paling dekat pintunya darimu.”

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

  • RELAWAN PMR
  • PMR
  • in ADB
  • On Facebook
  • On Facebook

Comments

 
Support : PMR SMAN 3 SLAWI | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. PMR - All Rights Reserved
Template Created by PMR SMAN 3 SLAWI Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger